Seorang teman
pernah berkata padaku. “Tujuan hidupku menjadi profesor. Bagaimana menurutmu?”
Aku hanya diam sedikit berpikir. Minimal dia tidak berpikir aku mengabaikan
pertanyaannya.
“Kau tak akan
bahagia.” Kataku.
Dia memasang
wajah penuh tanda tanya dan penasaran. Mungkin tersinggung. “Apa yang aneh?
Orang banyak bercita-cita. Jadi dokter; jadi teknisi; jadi pebisnis. Apa mereka
kau dakwa juga tak akan bahagia?”
“Entahlah. Mari
kita buktikan. Waktu masih panjang, bukan?” Itu jawaban diplomatisku.
Dalam hati aku
membayangkan betapa jika seorang hanya bertemu untuk sebuah tujuan pribadi.
Betapa akan jemunya seorang istri jika suaminya berkata hai lalu meloncat
sampai bye. Kita sering lupa ada orang lain dalam semua tujuan kita.
Terlalu asyik mencapai tujuan sendiri pasti mengabaikan tujuan orang lain. Jika
menikah hanya soal anak saat anak tercapai maka tujuan menikah akan selesai.
Jika tujuan ilmu hanya sampai profesor, maka tujuan ilmu sebagai alat faciliter
untuk manusia menjadi tidak penting. Bukankah piala itu hanya gelas kosong jika
tak didukung oleh kemenangan hakiki? Tapi entahlah. Sekarang bahkan citra bisa
diperdagangkan.