Cari Blog Ini

Minggu, 19 Januari 2020

HAI DAN BYE


Seorang teman pernah berkata padaku. “Tujuan hidupku menjadi profesor. Bagaimana menurutmu?” Aku hanya diam sedikit berpikir. Minimal dia tidak berpikir aku mengabaikan pertanyaannya.
“Kau tak akan bahagia.” Kataku.
Dia memasang wajah penuh tanda tanya dan penasaran. Mungkin tersinggung. “Apa yang aneh? Orang banyak bercita-cita. Jadi dokter; jadi teknisi; jadi pebisnis. Apa mereka kau dakwa juga tak akan bahagia?”
“Entahlah. Mari kita buktikan. Waktu masih panjang, bukan?” Itu jawaban diplomatisku.
Dalam hati aku membayangkan betapa jika seorang hanya bertemu untuk sebuah tujuan pribadi. Betapa akan jemunya seorang istri jika suaminya berkata hai lalu meloncat sampai bye. Kita sering lupa ada orang lain dalam semua tujuan kita. Terlalu asyik mencapai tujuan sendiri pasti mengabaikan tujuan orang lain. Jika menikah hanya soal anak saat anak tercapai maka tujuan menikah akan selesai. Jika tujuan ilmu hanya sampai profesor, maka tujuan ilmu sebagai alat faciliter untuk manusia menjadi tidak penting. Bukankah piala itu hanya gelas kosong jika tak didukung oleh kemenangan hakiki? Tapi entahlah. Sekarang bahkan citra bisa diperdagangkan.

Jumat, 17 Januari 2020

ANTARA BERANI DAN BODOH


Sore itu dari Madura ke Surabaya berdua saya dan istri. Di Jembatan Suramadu seperti biasa 30-35 km/j. Rambu menjelaska 25 kecepatan yg direkomendasi dan 40 kecepatan maksimal. Istri saya sebenarnya pernah complain. Katanya sakit pinggang dan ngantuk jika terlalu lambat. Saat itu sebuah sepeda motor lake’ melaju dengan kecepatan tinggi. Tapi, bukan itu yang istimewa. Sudah biasa sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi di Suramadu. Drivernya. Drivernya cewek. Tak pakai helm. Rambutnya yang panjang tergerai berkibar oleh angin.
Istriku berseru, “Hebat. Berani.” Hanya dua kata. Entah sindiran untuk saya atau jiwa petualangnya sebagai pramuka sedang muncul.
“Perempuan lho, Mas.” Saya sedikit mendongkol. Apa mungkin dia menyindir saya kurang jantan karena tak berani tarik gas.
“Lelaki sih tak aneh ngebut” Jadi kalau gak ngebut aneh? Tiga predikat sudah.
“Tapi dia tak pakai helm.” Mengungkapkan kedongkolan.
“Tak ada polisi.”
“Kau tahu pembatas itu dari apa?” Saya bertanya
“Di bawah beton dan pagarnya besi.”
“Nah, kalau dia jatuh dan kepalanya pecah, apa polisi yang rugi? Tahu gak beda berani dan bodoh itu bedanya tipis?” Dengan penekanan pada pernyataan terakhir. Lega rasanya.

Kamis, 12 Mei 2016

BANGKALAN SEPERTI RIMBA AFRIKA (ADA SINGA, SERIGALA, DAN GAJAH)

Membaca sosial media miliknya Kacong terlihat sangat gembira. Tampak sekali di wajahnya. Bahkan, tanpa sadar terlontar di mulutnya sebuah ungkapan yang penuh gembira.
“Wah, akhirnya Tuhan benar-benar ada.”
Ungkapan yang aneh dan tidak lumrah. Ba Latip yang saat itu sedang memberi makan burung segera menoleh. “Ada apa lagi? Sekarang malah berbau tobatnya orang ateis. Memang dulu kau tak percaya Tuhan?”
“Bukan begitu, Ba. Ini lho baca tautan berita di sosial media. Singa pemangsa kita telah ditangkap KPK. Rasanya dulu tak ada yang berani padanya. Semua kasus hukumnya selalu

Jumat, 06 Mei 2016

KRITIK ITU SERANGAN

Kelas baru bubar. Sambil memeriksa tugas administrasi dalam presensi saya tak langsung keluar. Tak ada yang perlu dikejar. Tak ada yang menunggu atau pergi meninggalkan kita. Yah, mengatasi impuls yang harus selalu ditekan agar selalu tenang dan damai. Dalam kelas yang telah sepi, tengah hari, Arfageddon masuk dengan sapaan khas dan menanyakan endorsement pesanannya. Bicara tentang pendidikan. Tentang penghargaan terhadap ilmu. Tentang formalitas yang tidak perlu dibesar-besarkan. Tentang seremonial yang menguras waktu dan tidak untuk apa-apa.
Ia juga berbicara tentang karya. Tentang buku yang hanya penting untuk akreditasi, sedang setelahnya ya.... ENTAH. Kekecewaan. Itu yang kutangkap dari pernyataannya. Dikucilkan, dimusuhi,

Jumat, 29 April 2016

DALAM SAKIT

Dalam keadaan kurang sehat ia menemuiku memaksa diri untuk duduk meski dalam keadaan lemah. Ia berkata, “Mereka sering menyarankan padaku jangan menyerah pada sakit.” Hening sebentar. “Mereka pikir manusia itu sama. Ada orang yang kalau sakit dibawa kerja bisa sembuh. Ada yang tak menghirau kan sakitnya. Itu pernah ku lakukan. Dan kau tahu? Bukannya sembuh malah sakit semingguku kambuh. Sembilan hari. Kata orang Madura kapolèan. Kau boleh tak percaya.”
“Gak ke dokter, Ba?”
“Aku kurang percaya pada dokter. Mereka itu bajunya saja yang putih. Kita tahu sendiri praktiknya. Di rumah sakit tempat ibadah mereka itu, berapa banyak pasien ditelantarkan